Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Lebay

Dirut Humpus, 25 Tahun Bergelut di Perusahaan "Susah"

Recommended Posts

l72LU8aGsK.jpgTheo Lekatompessy. (Foto: Okezone)

 

 

 

MENJADI seorang direktur memang bukan pekerjaan mudah, terlebih ketika perusahaan tersebut sedang mengalami masa sulit ataupun sedang berkembang dari nol. Seorang direktur pun dituntut untuk dapat menyelesaikan persoalan tanpa menambah persoalan. bukan hal yang mudah memang. Namun, siapa sangka jika dalam perjalanan karier seorang direktur harus selalu dihadapkan dengan posisi yang sulit.  

Theo Lekatompessy merupakan salah satu orang yang berkelut dalam pahit manisnya menjadi direktur. Theo saat ini merupakan Direktur Utama PT Humpuss Intermoda Transportasi Tbk (HITS). Theo baru menjabat menjadi direktur utama dalam beberapa bulan terakhir. Theo diangkat dengan segudang masalah yang dimiliki Humpuss. Salah satunya terancam pailit lantaran utang di salah satu anak perusahaan yang pailit PT Humpuss Sea Transport Pte Ltd (HST).

 

Humpus merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perkapalan. Namun, karena kesalahan strategi bisnis yang dilakukan salah satu anak usahanya, maka Humpuss terancam mengalami kebangkrutan lantaran harus melunasi utang dari dua perusahaan penyewa kapal.

 

Memang utang tersebut bukanlah kewajiban Humpuss untuk melunasinya, utang tersebut lantaran adanya peminjaman kapal oleh anak dari anak usaha Humpuss. Utang yang terjadi pada 2008 tersebut mencapai Rp1 triliun, namun melalui penawaran didapatkan harga sebesar USD72 juta, atau Rp687,6 miliar.

 

Kala itu, anak perseroan HST meminjam kapal untuk melakukan pengangkutan. Namun, karena besar kapal yang tidak sepadan dengan pelabuhan di Indonesia, maka keberadaan kapal tersebut menjadi tidak maksimal. Padahal, HST ini merupakan permata Humpuss sejak 1986 itu sudah jadi cash flow Humpuss.

 

Permasalahan sebenarnya sudah selesai ketika Humpuss telah mengembalikan kapal yang mereka pinjam kepada kedua perusahaan penyewa kapal tersebut. Akan tetapi, masalah baru timbul karena kedua perusahaan kapal menuntut ganti rugi imateriil, karena tidak singkatnya waktu peminjaman kapal, dan tidak sesuai kontrak. 

Masalah utang ini telah melewati tiga kali pergantian direksi, namun belum juga membuahkan hasil. Maka para pemegang saham menunjuknya sebagai Direktur Utama Humpuss, guna menyelesaikan permasalahan yang dapat mengancam keberlanjutan Humpuss.

 

Awalnya, Theo hanya menjabat menjadi Managing Director, namun tiga kali tampuk kepemimpinan, nampaknya belum dapat membuat Humpuss keluar dari masalah. Pasalnya, Humpuss menganut adanya dua komisaris dan dua direksi, sehingga dapat terjadi dead lock dalam membuat keputusan.

 

"Kalau Humpuss itu dua. Jadi kalau ada dead lock naik ke atas, kalau sudah ke atas itu selesainya secara musyawarah mufakat," katanya kepada Okezone.

 

Namun, sudah barang tentu dengan bergantinya direksi, berganti pula pola kepemimpinannya. Theo mempunyai prinsip menolak jika utang tersebut tidak dibayarkan. Padahal, pengadilan Niaga Jakarta Selatan, memutuskan Humpuss tidak mempunyai kewajiban membayar utang. Akan tetapi untuk menjaga nama baik Humpuss, Theo berkeras bahwa utang tersebut harus dibayarkan.

 

"Saya mengatakan ya ini saya, terima, tidak terima, saya dengan segala kelebihan saya, dan saya dengan segala kekurangan saya," katanya singkat.

 

Menurut Theo, hidup memang harus memilih, namun dia tidak ingin lari dari tanggung jawab. Dia menambahkan, tidak perlu menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan.

 

"Kan bukan suatu kejujuran. You can cheat everbody one time, you can cheat someone everytime, but you can't cheat everbody everytime. Dan memang masalahnya moral. Masa musti lari, meninggalkan pelanggan," jelas dia.

 

Theo melanjutkan, pemilihan dirinya lantaran sudah mempunyai pengalaman dalam menyelesaikan masalah. Keberanian Theo mengambil langkah tegas ini bukan tanpa sebab. Menurutnya, sudah sejak lama dia kerap berurusan dengan masalah. "Memang kalau melihat karir saya dari awal, hampir 25 tahun itu, hampir semua perusahaan susah," jelas dia.

 

Perjalanan Karir si Penjual Kopi

 

Theo yang merupakan anak dari pasangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) ini menuturkan, dia sudah mulai mencoba berusaha sejak belasan tahun. Awalnya, dia bergelut penjualan kopi. "Jadi kami dari Surabaya, ayah saya ini PNS. Pegawai BUMN, jadi gajinya tidak cukup, jadi saya harus membantu. Saya koleksi kopi, saya beli dari Malang, dari Jember, Bali, Maliana, Bobonaro, Dili saya kumpulkan untuk diekspor," kata dia.

 

Theo mengungkapkan, berjualan kopi bukan perkara mudah, dia menganalogikan berjualan kopi seperti menaiki roller coaster, lantaran fluktuasi harga yang tinggi, kadang harga naik, atau terkadang harga turun. Belum lagi Theo harus berhadapan dengan permasalah perkapalan. Dia mengisahkan, pernah mengambil kopi namun barang yang dikirimnya dengan kapal itu jatuh dan hilang.

 

"Jadi waktu itu saya sport jantung, tapi saya masih muda jadi i can afford. Jadi memang, saya tahan waktu itu karena usia saya masih belasan tahun. Kalau dulu saya katakan itu challange, tapi kalau sekarang saya bilang risky. Ya persepsinya beda, kalau masih muda saya bilang tantangan," tutur dia.

 

Pada 1982, Theo menyempatkan diri untuk mengambil pendidikan di Universitas Airlangga, Surabaya. Theo cukup beruntung, meskipun pas-pasan, namun orangtuanya mampu membayar uang sekolah kala itu. Namun, keinginan untuk mendapatkan kebutuh sekunder pun harus dipenuhinya lewat kocek sendiri. Theo akhirnya mencoba berdagang sembari kuliah. Sehingga, tidak jarang dia harus bolos dari kuliah.

 

"Saya terus terang bukan mahasiswa yang baik. Jadi memang saya dan beberapa kawan bergiliran bolos, karena kerja memang. Jadi kalau kami bertiga bolos, satu buat catatan, nanti satu balik ngambil.  Bolos seminggu kadang dua minggu, pokoknya isi absen sajalah biar bisa ujian," kenangnya.

 

"Tapi puji Tuhan saya dapat piagam dari gubernur karena saya lulus tepat waktu. Saya ketiga yang lulus tepat waktu. Dalam artian kuliah lulus tepat empat tahun.. Saya tiga besar kalau tidak salah.. Saya juga enggak tahu bagaimana bisa, tapi kenyataannya saya dapat kertas itu lah," tambah dia.

 

Dia melanjutkan, setahun usai lulus, yakni pada 1987, dia sudah tidak bisa lagi bepergian lantaran bekerja menjadi akuntan publik. Berbekal uang hasil dagang, Theo memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya. "Kemudian saya sekolah lagi S2, di Amerika Serikat (AS) di Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Boston," kata Theo.

 

Usai merampungkan kuliahnya, Theo pulang ke Indonesia. Dalam suatu kesempatan, dia bertemu dengan seorang kawan di kuliahnya yang menawarkan dia bekerja menggantikan dirinya yang akan berhenti .

“Seorang kawan saya itu dia bilang, you sudah kerja? Saya bilang belum. Lalu dia bilang, 'besok saya berhenti, you ganti saja tempat saya', Jadi saya diberi. Lalu saya pergi ke owner-nya, dia bilang 'you duduknya di situ, di tempat Frans, kerjakan apa yang Frans kerjakan, kamu langsung saja kerjakan'. Jadi sangat impulsif ya," tutur dia.

 

Perusahaan tersebut, yakni Marubeni. Marubeni adalah sebuah perusahaan joint venture dengan Jepang. Dalam era saat ini, Marubeni merupakan perusahaan kayu, lantaran bisnis kayu yang memang menggiurkan.

 

Dari bekerja di Marubeni, Theo mengaku memetik satu pengalaman berharga. Menurut dia, jika sebuah perusahaan tidak mempunyai transportasi besar untuk menyalurkan produk, maka perusahaan tersebut akan kesulitan mendapatkan untung. Salah satu yang menjadi kunci adalah transportasi via laut, alias transportasi dengan kapal.

 

"Tidak ada kapal, tidak ada uang. Ambil contoh, kalau kayu itu ditebang, dipotong, ditarik dengan buldoser turun. Dipotong, kemudian diangin-anginkan sampai dengan kadar air tertentu. Waktu kapal datang, kadang-kadang kayu juga belum siap kapal sudah datang, kadang-kadang kapal datang tapi enggak ada space, akibatnya you enggak bisa ekspor," jelas dia.

 

"Kalau you tidak ekspor tidak terima uang, padahal you punya kewajiban, mulai dari motong itu, sampai ke bawah bisa dua-tiga bulan. Jadi modal kerjanya itu habis.. Jadi kapal itu strategic tools untuk industri komoditi tertentu, industri tertentu itu butuh kapal, kalau tidak punya kapal, maka tidak bisa ekspor.. Darahnya habis," paparnya.

 

Masalah di Marubeni datang waktu Hong Kong dikembalikan kepada China oleh Inggris. Kala itu orang Hong Kong, mencari tempat berpijak, mereka pun lari ke Australia, Kanada, bahkan San Franssico. Dari situ, Marubeni pun dituntut berubah.

 

Marubeni yang dulunya raksasa dalam bidang kayu, harus mencari haluan baru, dari perusahaan raksasa yang memproduksi tatami menjadi perusahaan yang banyak membangun properti tidak saja di San Fransisco, tapi juga di Singapura dan Tokyo. "Karena di Tokyo zaman itu harga properti jatuh, jadi saatnya beli. Di satu sisi kami hasilkan duit dari eksodus di Hong Kong, terus uangnya dibawa pulang ke Jepang untuk beli properti yang murah,” jelas dia.

 

Namun, dengan intensitas tinggi tersebut, Theo akhirnya memutuskan untuk berhenti dengan alasan lelah, lantaran harus bepergian terus tiap bulan. Dalam sebulan, dia harus sudah berada di San Francisco, seminggu kemudian di Singapura, seminggu berikutnya di Tokyo, dan semingu kemudian sudah harus kembali ke Indonesia. "Enggak tahu saya payah itu. Hampir lima tahun saya bekerja seperti itu, akhirnya saya putuskan berhenti, usia saya masih muda. Kalau tidak salah saya masih umur 30 waktu saya berhenti," jelas dia.

 

Usai bekerja di Marubeni, Theo menganggur, sampai suatu waktu penikmat kuliner ini diajak untuk santap siang bersama oleh seorang kawannya. Pepatah mengatakan, kalau rejeki takkan lari ke mana, Theo kala itu duduk bersama salah satu suplier dari Basuki Engineering. "Nah itu saya di tanya, 'you mau kemana?', saya bilang saya belum tahu. Kemudian saya direkomendasikan ke Djayanti," tutur dia.

 

Berbekal rekomendasi dari sang suplier tersebut, Theo mencoba peruntungannya di Djayanti Group. "Jadi waktu saya datang ke Djayanti itu owner-nya bilang ’Saya enggak nanya banyak-banyak, karena you orang keuangan, dan yang rekomendasikan itu adalah supliernya sudah pasti you enggak akan curi.' Jadi owner saya itu bilang, ’Kalau you peres itu suplier, tidak akan ada itu suplier bicara baik tentang you'," kata Theo menirukan ucapan owner Djayanti Group itu.

 

Theo pun mulai bergabung di Djayanti pada 1991. Menurutnya, masuknya dia di perusahaan tersebut tak lain karena mendapatkan pertolongan dari supliernya. Djayanti, yang kala itu merupakan perusahaan kayu terbesar kedua di Indonesia, tengah mempersiapkan diri untuk go publik (IPO).

 

Tidak gampang memang untuk membuat Djayanti melantai di pasar saham. Pasalnya, Djayanti harus berusaha keluar dari prinsip perusahaan keluarga menuju perusahaan publik. Hal ini juga yang menjadi salah satu penyebab perusahaan tersebut tidak diizinkan go publik. "Jadi hanya perusahaan ikannya (anak usahanya) yang diizinkan," tuturnya.

 

Beberapa tahun di Djayanti, tepatnya 3,5 tahun kemudian, atau pada 1994, Theo memutuskan untuk keluar. Bukan karena Djayanti gagal untuk IPO, ataupun karena pekerjaannya yang terlalu berat. Alasan Theo keluar dari Djayanti pun cukup mengagetkan.

"Karena kebetulan saya nikah dengan keponakan yang punya, jadi saya keluar. Karena saya nikah dengan keluarga saya merasa enggak enak, dan sebagai profesional saya rasa enggak bagus ya," kisahnya.

 

Sayangnya, usai ditinggalkan Theo, Djayanti memang berhasil go publik pada 1996-1997, namun badai krisis yang dimulai pada 1998 membuat Djayanti tidak kuat bertahan. "Mereka  kemudian jatuh, dan sekarang habis," jelas Theo.

 

Akan tetapi, nasib Theo bertolak belakang dengan Djayanti. Kala itu, Theo langsung dipinang oleh seorang head hunter Filipina, untuk bekerja di Gajah Tunggal. Menurut Theo, sehari sebelum dia menyerahkan surat pengunduran diri, dia sudah diminta bergabung dengan Gajah Tunggal. "Begitu saya berhenti, besoknya saya masuk ke Gajah Tunggal, hari itu juga. Jadi hari ini saya putuskan berhenti, besoknya sudah bekerja lagi," katanya.

 

"Saya keluar sebelum saya nikah, jadi setelah saya keluar, tiga bulan kemudian saya nikah. Jadi saya minta nikah, ketika saya akan melamar itu saya sudah berhenti.  Saya berhenti, saya melamar, saya nikah. 1995 saya nikah," tambah dia.

 

Masuk ke Gajah Tunggal, Theo didaulat untuk membangun divisi petrochemical, sebagai Direktur Keuangan. Bukan perkara mudah, pasalnya GT Petrochemical merupakan perusahaan dari nol. "Waktu saya masuk enggak ada yang namanya GT Petrochemical, kami beli dulu perusahaan orang, itu pun hanya punya 10 persen. Kemudian naik ke 50 peren, naik ke 100 persen kemudian digabung dengan PT Andayani Megah, jadilah GT Petrocem," tuturnya.

 

Akan tetapi, krisis pada 1998 memaksa beberapa bank dilikuidasi. Sial bagi Theo, Bank yang menyalurkan pinjaman kepada perusahaannya terkena kasus Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Karena kondisi BLBI ini, hampir setiap hari dia dipanggil menghadap ke Kejaksaan. Theo yang kala itu hendak mempunyai anak memtuskan untuk berhenti.

 

“Memang ini kan kaitannya ke perbankan, bukan ke perusahaan, meski perusahaan ini mempunyai dana dari bank, modal perusahaan dari bank itu. Kalau utang dari bank lain, jadi modalnya yang dipermasalahkan. Akhirnya sampai 1999, kami berkeluarga akhirnya saya minta berhenti, karena waktu itu saya mau punya anak, jadi saya pindah ke Bangkok. Saya profesional biasa, dan enggak ada hubungan dengan bank," tambah dia.

 

Kala liburan di Bangkok, Theo kembali diajak salah satu temannya di Djayanti, Ade Erlanga Jarwo, untuk bergabung dalam perusahaan yang bermasalah. Kali ini, perusahaan tersebut adalah milik keluarga Bakrie. Menurut dia, waktu bergabung dengan Bakrie di 1999, kala itu Bakrie sedang dalam puncak restructuring.

 

Dia menjelaskan, dalam pekerjaannya dia mendapat tugas di infrastruktur, yakni pipa yang merupakan core bisnis Bakrie. Pasalnya, selama crisis hampir semua aset telah dijual, dan yang tersisa hanya pipa, bahan bangunan. Lantas apa alasan Theo tetap bergabung dalam Bakrie. “Waktu itu karena masih muda, jadi di beri challange, can you make it or not, jadi saya jawab itu,” jelas Theo.

 

Theo berada di Bakrie selama periode 1999-2003, saat dimulainya (kick off) restructuring, lantaran pada 1998 itu kolapsnya. Selama periode tersebut, Theo mampu menyelesaikan proses restrukturing, dan Bakrie sudah menemukan core bisnis baru yang sudah berjalan.

 

”Waktu saya meninggalkan itu pas Pak Ical memutuskan masuk politik. Itu salah satu pertimbangan saya juga, karena saya menghindari untuk berpolitik.  Saya mempunyai hak politik sebagai warga negara dan saya menggunakannnya, pada saat pemilihan umum, cuma sebagai pebisnis profesional saya lebih suka netral. Kita kan pedagang, kita harus bisa disiplin. tu yang saya katakan menolak salah satu yang menggiurkan, harus bisa menolak,” urai dia.

 

Meskipun mundur, namun Theo kala itu masih ditugaskan untuk membantu perusahaannya Bakrie yang berada di Milan. Baru pada 2005, dia bergabung dengan Hong Leong gorup sebagai country director. ”Mereka punya bisnis di Indonesia itu saya yg tangani. Itupun juga probrem lagi, karena banyak investasi di Indonesia, salah pilih partner,” kata Theo.

 

Theo menambahkan, masuknya dia di Hong Leong lantaran adanya kepercayaan dari pihak Hong Leong. Dengan demikian, saat pertama kali masuk Marubeni dia dipercaya oleh supliernya saya, masuk Djayanto dipercaya oleh temannya, masuk GT dipercaya head hunter saya, dan masuk Bakrie dipercaya oleh koleganya.

”Jadi waktu saya di bakrie saya kontak dengan Hong Leong, karena kami beli barangnya dia cukup lama, dan akhirnya dia lihat. Waktu itu kenalnya dalam konteks kawan. Dalam lima tahun baru mereka percaya, dagang-dagang di Indonesia, cuma memang mereka ada masalah, seperti perusahaan lainnya, pilih partner yang salah. Jadi tidak mudah memang,” jelas Theo.

 

Theo pun kembali menghadapi restrukturisasi. Jika di Bakrie dia harus melakukan restrukturing loan dari bisnis, kalau di Hong Leong menjadi restructuring partner. “Awalnya saya bilang cobalah, saya masuk dari konsultan di holding, dan lama-lama jadi serius di sini  (Humpuss),” ujarnya.

(mrt)

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...