Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Shaolin

Bisnis-Sukses Bangun Sekolah Berbasis Bahasa Ibu

Recommended Posts

KOMPAS.com - Siapa sangka, Sekolah Putik Indonesia yang kini memiliki empat cabang di Jakarta dulunya dimulai dari lahan mungil di rumah orang tua sang pendiri, Nina Estanto. Ditemui di salah satu sekolahnya di kawasan Cipayung, Jakarta Timur, Nina mengatakan bahwa saat itu Sekolah Putik dijalankan hanya oleh lima staf pengajar, termasuk dirinya.

 

Pada awalnya, Nina tidak memiliki latar belakang di bidang pendidikan anak. Ia adalah alumni jurusan komunikasi dari Universitas Indonesia dan pernah bekerja sebagai wartawan. Setelah menikah dengan Bob Dafonso Estanto, seorang pegawai bank asing, ia ikut sang suami pindah ke Skotlandia pada 2001. Di sana Nina sekaligus melanjutkan pendidikan jurnalistiknya di University of Strathclyde.

 

Berubah pikiran soal anak

Pengalaman di Skotlandia membuka matanya tentang banyak hal dalam dunia anak beserta aspek pendidikannya. “Saat kuliah di Skotlandia, para dosen selalu memberikan tugas penulisan yang membutuhkan riset. Karena masalah anak dan perempuan selalu menjadi sorotan di sana, saya pun banyak melakukan riset tentang dua objek tersebut,” kenang Nina.

 

Misalnya pada 2001, ia melakukan riset tentang pola pendidikan anak usia dini. Perempuan kelahiran Solo, 18 Desember 1972 tersebut menjelaskan, di Inggris, anak-anak usia satu sampai lima tahun tidak dipaksa untuk belajar baca tulis. Mereka justru diberi kebebasan untuk bermain, tapi tentunya dengan permainan yang mengedukasi si anak.

 

Hal itu agak mengejutkan Nina karena sebelumnya ia sudah bertekad ingin mengajari anaknya membaca dan menulis sedini mungkin. Ia juga ingin anak-anaknya bisa cepat mengusai berbagai bahasa. Setelah melakukan berbagai riset, semua keinginan Nina tersebut jadi luntur.

 

“Anak bukanlah mesin yang bisa diatur semau kita. Mereka bisa jenuh dan kehilangan minat belajar jika di usia dini sudah dipaksa untuk berpikir. Semua itu ada saatnya,” ujar ibu dari Khalista Diva Estanto (11 tahun), Kiara Daviana Estanto (7 tahun), dan Benawa Daniswan Estanto (1 tahun 8 bulan).

 

Ucapannya terbukti ketika seorang temannya mengeluhkan anaknya tidak bisa baca tulis di usia tujuh tahun. “Letak kesalahannya ada pada teman saya yang telah menyekolahkan anaknya dan memaksanya bisa baca tulis sejak usia dua tahun,” ujar Nina tegas. Menurutnya, anak malah akan menjadi jenuh dan kehilangan minat belajar.

 

Nina akhirnya juga menemukan banyak hal lain menyangkut dunia ibu dan anak, terutama mengenai cara mendidik anak. Ia menerangkan, orang tua di Eropa tidak menerapkan gaya pendidikan modern, tapi justru menerapkan budaya lokal sejak dini. Selain itu, para orang tua juga mengajarkan anak menguasai bahasa ibu, termasuk memperkaya kosa kata anak, dan menyajikan informasi yang jelas serta logis. Dengan demikian terciptalah perilaku anak yang baik, berwawasan luas, dan berkarakter positif.

 

Ia memberikan contoh. Di Inggris, anak-anak dibiasakan mengucapkan kata "please" jika ingin meminta sesuatu dari orang lain. “Sangat sopan karena sejak kecil anak-anak sudah dibiasakan untuk berperilaku positif,” tambahnya.

 

Ingin punya sekolah sendiri

Setelah setahun menempuh pendidikan di Skotlandia, Nina kembali ke Jakarta dan bekerja sebagai wartawan di bagian pemberitaan salah satu stasiun televisi. Di tanah air, ia sering menemukan kejadian yang membuatnya semakin prihatin akan perilaku anak saat ini.

 

Suatu hari ia berjalan-jalan di sebuah mal. Tiba-tiba seorang anak kecil yang sedang berlari menabraknya. Nina sangat terkejut karena anak tersebut malah memaki sambil memelototinya.

Tidak hanya itu. Ia juga pernah melihat orang tua yang menyuruh sang anaknya menyerobot barisan orang-orang yang sedang mengantre di sebuah pasar swalayan.

 

“Saya sangat menyayangkan  kejadian yang membuat anak-anak jadi berperilaku tidak baik pada orang lain,” tuturnya.

 

Pengalaman itu membuatnya bertekad menghindarkan anak-anaknya dari hal serupa. Kebetulan saat itu salah satu putrinya hendak masuk tingkat prasekolah. Nina pun berkeliling menyurvei sekolah. “Ternyata tidak ada sekolah yang sesuai dengan idealisme saya. Semua sekolah menawarkan janji agar anak bisa secara instan menguasai bahasa asing, menguasai teknologi internet, dan sebagainya,” ujar Nina.

 

Nina mengatakan bahwa ia sebenarnya tidak anti sekolah bilingual (dua bahasa, terutama Indonesia dan Inggris, RED). Namun ia berpendapat bahwa anak akan sulit menerima informasi jika di sekolah berkomunikasi dengan bahasa yang tidak digunakannya sehari-hari atau bahasa ibu. Selain itu, berdasarkan riset yang pernah dilakukannya, di usia dini anak membutuhkan pendidikan yang sesuai tingkat kemampuannya.

 

Tercetuslah dalam pikirannya untuk membangun sekolah sendiri. Sekolah yang ia inginkan benar-benar berbeda dari yang sudah ada. Kebanyakan pengelola pendidikan prasekolah sedang marak menawarkan sistem pendidikan bilingual dan kecanggihan sistem pendidikan lainnya. Sementara yang Nina tawarkan “hanya” pendidikan prasekolah usia satu hingga lima tahun yang menggunakan edukasi berbasis bahasa ibu.

 

Sistem pendidikan yang diterapkannya lebih menekankan aspek-aspek sosial, emosional, budi pekerti, dan agama. “Kami yakin, penguasaan bahasa ibu atau bahasa Indonesia dengan baik sejak dini, adalah awal kecerdasan anak untuk menerima ilmu pengetahuan dan menguasai bahasa lainnya,” Nina menjelaskan dengan bersemangat.  

 

Keinginan Nina ini ternyata sangat didukung sang suami. Ia setuju dengan konsep pendidikan yang diidam-idamkan Nina. Dengan modal tabungan, mereka berdua membeli berbagai peralatan dan kebutuhan sekolah. Sebuah ruang kosong di samping rumah orang tua Nina di Cipayung dirombak untuk dijadikan tempat belajar.

 

Mengajarkan nilai lokal

Pada 7 April 2002, pendidikan prasekolah miliknya pun resmi dibuka. Promosi dilakukan dengan modal spanduk yang bertuliskan konsep dan idealisme sekolah yang diberi nama Putik ini. Untuk memantapkan program belajar, Nina bekerja sama dengan teman-temannya dari jurusan psikologi dan juga teman-temannya yang berprofesi sebagai pengajar prasekolah anak.

 

Baru sehari pasang spanduk, ternyata respons membludak. Banyak orang tua datang dan ingin tahu lebih dalam tentang konsep pendidikan yang diciptakan Nina. “Saat itu sayalah yang menjelaskan dan meyakinkan pada calon orang tua murid. Masing-masing saya ceramahi selama dua jam mengenai konsep prasekolah ini,” katanya sambil tersenyum.

 

Ia mengatakan, bahasa bilingual tetap diajarkan di Sekolah Putik, namun tidak untuk pendidikan prasekolah. Bahasa asing diajarkan setelah anak duduk di tingkat SD. Nina berpendapat bahwa bahasa asing akan dikuasai anak melalui kebiasaan, bukan karena belajar di sekolah. Jika kedua orang tua tidak berbahasa asing di rumah, maka anak pun tidak akan bisa berbahasa asing dengan lancar.  

 

Dalam waktu kurang dari seminggu, ia mendapatkan 20 murid. Ia mengatakan, kebanyakan orang tua yang mendaftarkan anaknya memiliki latar belakang pendidikan tinggi. “Mereka lega bisa menemukan sekolah Putik karena metode belajar seperti inilah yang selama ini mereka cari,” ujarnya.

 

Salah satu cara Sekolah Putik menanamkan nilai-nilai lokal adalah dengan membiasakan murid menyapa guru dengan sebutan “Ibu”, bukan “Miss”, serta menyebut pegawai lain di sekolah dengan panggilan “Mbak” atau “Mas”. Pembagian tingkat kelas prasekolah pun unik karena menggunakan sebutan umum dalam kehidupan sehari-hari.

 

Ada kelas Dede Kecil (usia 1,5 – 2 tahun), Dede (2 – 3 tahun), dan Adik (3 – 4 tahun). Selain prasekolah, Putik juga memiliki TK yang dibagi menjadi TK A (4 – 5 tahun) dan B (5 – 6 tahun). Atas permintaan para orang tua, pada 2009 berdirilah SD Putik di Cipayung. Agar setiap murid mendapat perhatian penuh, di masing-masing kelas jumlah pengajar ditentukan berdasarkan jumlah murid.

 

Misalnya di kelas Dede, perbandingan jumlah pengajar dengan murid adalah 1 : 6. Artinya satu orang guru menangani enam murid. Sementara untuk  kelas Adik perbandingannya 1 : 7. Hal ini akan memungkinkan semua anak ditangani secara individual, sehingga guru maupun murid  dapat fokus dalam kegiatan belajar mengajar.

 

Pilih-pilih mitra

Untuk menjaga kualitas pendidikan, Nina memilih staf pengajar yang benar-benar memiliki dedikasi. Itu sebabnya kualitas pengajar menjadi salah satu modal utama dalam menjalankan usaha Sekolah Putik. Nina selalu berupaya memotivasi para staf dan menerapkan disiplin dalam bekerja. Ia hanya menerima para guru yang benar-benar mencintai bidang pendidikan.

 

“Mendidik guru lebih sulit ketimbang mendidik siswa. Saya tidak mau guru sekadar mengajar, lalu pulang. Di sini semua guru harus bisa melayani anak dan orang tua, disiplin dengan kehadiran dan kondisi di kelas, serta mau menambah wawasan,” ujarnya.

 

Nina kerap memberikan buku-buku seputar topik psikologi dan anak untuk menambah wawasan para staf pengajarnya. Ia juga menugaskan mereka untuk menuliskan ringkasan buku-buku tersebut. Ia menegaskan, secanggih apapun, suatu sekolah tidak akan maju jika staf pengajarnya payah.

 

Konsep Putik yang lain dari yang lain menjadi daya tarik tersendiri bagi beberapa kalangan investor yang ingin bermitra. Namun Nina tidak sembarang menerima mitra usaha. Baginya, bermitra adalah salah satu cara untuk memperluas konsep dan metode pendidikan yang ia terapkan.

 

“Jika bermitra dengan Putik, jangan harap mendapat keuntungan instan. Yang terpenting adalah mempertahankan idealisme Putik dan terjun langsung dalam kegiatan operasional,” katanya.

 

Contoh nyata ada pada diri Nina dan suaminya sendiri. Agar lebih fokus menangani Putik, pada 2002 Nina berhenti dari pekerjaannya sebagai wartawan. Sang suami pun mengikuti jejak Nina dan berhenti bekerja di bank asing. Kini mereka berdua  berkonsentrasi menangani Sekolah Putik.

 

Saat ini sekolah Putik sudah memiliki 350 siswa yang tersebar di empat lokasi di Jakarta. “Awalnya saya sama sekali tidak menyangka bisa membesarkan Sekolah Putik seperti ini. Semoga kami bisa membangun Putik sampai tingkat universitas,” ujar Nina mengakhiri pembicaraan.

 

Putik Cipayung

Jl. Raya Binamarga No. 45 A., Cipayung JKT 13840. Tel./Fax 8455138/84301902

 

Putik Duren Sawit

Jl. Lingkar Duren Sawit Blok K2-No. 5 Duren Sawit Jkt. 13470.Tel./Fax 8623117

 

Putik Cinere

Jl. Damai Buntu No. 45 - PLN Gandul, Cinere 16512, Tel.021- 7530412/8455138

 

Putik Cibubur

Jl. KH. Rafe'i No. 168 Ciangsana-Kawasan Cibubur Tel.021. 82491061/Fax.82491637

 

(Ira Nursita)

 

Sumber: Majalah Sekar

 

 

 

 

 

Powered By WizardRSS.com | Full Text RSS Feed | Amazon Plugin | Settlement Statement | WordPress Tutorials

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...