Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

cahyadi

"Meet The Labels": Saya Ingin Seperti Agnes Monica...

Recommended Posts

PONTIANAK, KOMPAS.com -- Bisa menjadi band atau penyanyi kondang di pentas musik Indonesia, adalah impian ribuan kaum muda. Mereka antre untuk bisa "diambil" oleh perusahaan rekaman. Termasuk lewat jalur Meet The Labels, ajang berburu bakat yang digelar di enam kota.

 

"Saya ingin seperti Agnes Monica. Atau kalau dalam band, kami pengen seperti Kotak," kata Yolanda (23), vokalis band Constantine dari Pontianak, peserta LA Lights Meet The Labels, yang digelar di Cafe Nineteen, Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu (6/10).

 

Dalam perhelatan tersebut, Yolanda dengan suara melengking menyanyikan lagu rock "Salam untuk Dia" milik band Voodoo yang populer di pertengahan 1990-an. "Kami ingin rekaman, dan go national," kata Yusuf Tri Eko Prasetyo (22), pemain keyboard band Constantine.

 

"Saya pengin jadi artis. Pengen ke Jakarta, karena belum ada sarana di sini (Pontianak)," kata Ghaitsa Kenang (17), peserta lainnya.

 

Pontianak merupakan kota terakhir, setelah Meet The Labels digelar di Surabaya, Yogyakarta, Banjarmasin, Medan, dan Bali. Di enam kota tersebut hajatan itu diikuti 635 peserta pada tahapan pra-audisi, yang kemudian tersaring menjadi 294 peserta terdiri dari band, penyanyi solo/duo. Mereka diharuskan tampil membawakan satu lagu karya sendiri serta satu lagu milik artis lain.

 

Tampak magnet industri begitu kuat menarik kaum muda untuk menjadi "seperti Agnes Monica". Maksudnya sukses di pentas musik Indonesia.

 

Di Pontianak ratusan anak muda dari 60 band, penyanyi solo/duo tampak tegang menunggu giliran tampil di depan wakil-wakil dari lima perusahaan rekaman dari Jakarta yaitu Aquarius Musikindo, Warner Music Indonesia, E-Motion, Seven Music, dan Alfa Records. Para wakil label itu berposisi bak para juri dalam kontes idol-idolan.

 

Komentar mereka merujuk pada kriteria yang berlaku di industri musik.

 

Kadang para juri itu cukup "kejam". Ketika sebuah band sedang bernafsu membawakan lagu, buru-buru juri mengacungkan tulisan "Next Song". Mungkin mereka tidak tahan mendengar suara sang vokalis yang fals, dan kata juri, belum layak dijual di pasar musik.

 

Ada peserta yang disarankan untuk memperhatikan soal baju. Ada juri menilai penampilan peserta "seperti zaman dulu” dan menyarankan: ”Perbaiki lagu supaya lebih mudah didengar, dan cocok untuk zaman sekarang..." Ada juga komentar seperti, "Lagu belum terlalu kuat untuk masuk ke industri."

 

Ghaitsa Kenang, Yasovi, band Constantine, termasuk beruntung karena mendapat pujian dan catatan dari juri. Ghaitsa, gadis manis yang bernyanyi sambil bergitar akustik kayak Avril Lavigne ini dianggap mempunyai karakter vokal unik.

 

"Vokal lumayan, tapi lagu kurang komersial. Lagu dari Avril itu saya suka. Pilih lagu-lagu yang seperti itu," kata seorang juri. "Tapi, jangan jadi KW-nya Avril, harus punya karakter sendiri," saran juri yang lain.

 

Komersial dan menjual

"Komersial" dan "menjual" menjadi kata sakti yang banyak diucapkan juri. Apa boleh buat, bakat-bakat dari daerah itu memang sedang berhadapan dengan praktisi musik industri yang memang harus menjual artis dan lagunya. Aspek-aspek penampilan seperti musikalitas, kerapian bermain, penampilan fisik, dan lainnya harus tunduk pada hukum komersial, dan menjual tadi. Realistis untuk pedagang.

 

"Ujung-ujungnya memang komersialnya," kata Ibenk Maulana dari Aquarius, label yang menaungi artis seperti Agnes Monica, Arie Lasso, Once, sampai Bunga Citra Lestari. "Yang utama adalah materi lagu. Kami cari lagu yang bisa dijual. Soal style dan penampilan itu bisa dipoles," kata Ibenk menambahkan.

 

Dalam mencari bakat baru, Arie Legowo, juri lain dari Warner Music Indonesia (WMI) juga berpegangan pada materi lagu. Dari ajang Meet The Labels, Arie mencatat kemampuan kebanyakan peserta sudah pada tingkat standar. Di luar lagu adalah penampilan.

 

"Karena industri (musik) kita kini dalam kondisi yang mengharuskan penampilan off-air menarik. Dan lagunya bisa dijual enggak?" katanya.

 

Bagaimana lagu yang baik itu, mereka tidak bisa mendefinisikan atau mematok kriteria tertentu. Namun

 

ada hal-hal umum untuk menilai, seperti keserasian lagu dengan karakter vokal. Lirik yang berdaya pikat. Dari kriteria umum di atas, WMI lewat Meet The Labels tahun lalu mendapatkan penyanyi Joshua March dari Jakarta, dan band The Lyrics dari Banjarmasin.

 

Potensi daerah

Meet The Labels seperti dikatakan Maya Shintawati dari LA Lights digagas sebagai ajang mencari bakat musik dengan cara mempertemukan bakat-bakat itu langsung dengan pelaku industri musik. Selama ini bakat-bakat muda di berbagai pelosok itu berkirim demo ke perusahaan rekaman dan belum tentu mendapat tanggapan. Warner misalnya, dalam sebulan menerima tak kurang dari 50-an demo. Bagi Ibenk dari Aquarius, perhelatan cari bakat ini cukup efektif. Karena bisa langsung melihat keaslian penampilan anak-anak band. Itu penting karena demo bisa saja manipulatif.

 

Arie Legowo dari WMI melihat potensi daerah untuk unjuk gigi di ajang tingkat nasional. Ia tidak menyangka ternyata Pontianak dan beberapa daerah lain punya potensi. "Dengan kondisi terbatas, mereka mau kreatif dan kemampuan mereka setara dengan kota-kota lain," kata Arie.

 

Yang belum terdengar dari ajang Meet The Labels adalah konten lokal yang bisa memperkaya khazanah rasa musik di Tanah Air. Lagu-lagu sebagian besar masih terdengar sama dengan yang selama ini diproduksi musik industri. Mungkin saat ini rasa lokal yang memperkaya khazanah musik Indonesia itu belum dianggap punya daya "komersial" alias "tidak menjual". (XAR)

 

 

p-89EKCgBk8MZdE.gif

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...