Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Parno

Kebijakan mitigasi krisis dinilai kurang memadai

Recommended Posts

JAKARTA: Akademisi menilai kerangka kebijakan mitigasi krisis yang disiapkan pemerintah belum memadai karena hanya terfokus pada stabilisasi pasar obligasi negara. Idealnya, ada kebijakan menyeluruh yang juga mencakup upaya stabilisasi di pasar modal dan sektor riil.

Anggito Abimanyu, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada, menuturkan langkah pengamanan perekonomian nasional yang dipaparkan Presiden susilo Bambang Yudhoyono pada pidato kenegaraan, 16 Agustus lalu, jauh dari memadai.

Pasalnya, instrumen kebijakan yang disiapkan sangat minim dan hanya terfokus pada satu hal, yakni stabilisasi surat berharga negara (SBN).

“Langkah itu menurut saya baik, tapi jauh dari memadai kalau dibandingkan (upaya mitikgasi krisis) 2008-2009. Saat itu  kita punya banyak instrumen (mitigasi) krisis. Sekarang minim, konsentrasinya hanya satu, yaitu SBN. Kalau 2008, kita punya buy back saham, stimulus fiskal, penempatan dana di bank BUMN,” ujarnya, siang ini.

Seperti diketahui, pemerintah telah menyiapkan kerangka kebijakan stabilisasi surat berharga negara (bond stabilization framework/BSF), yang isinya, a.l. melakukan pembelian kembali (buyback) SBN menggunakan alokasi khusus di APBN, atau jika kurang bisa menggunakan  saldo anggaran lebih (SAL). Selain itu, pemerintah bekerja sama dengan Bank Indonesia dalam membeli SBN menggunakan cadangan devisa, serta melibatkan BUMN dalam pembentukan dana stabilisasi obligasi.

“Saya tidak melihat langkah komprehesif untuk antisipasi krisis. SAL itu bukan untuk stabilitas pasar. Kalau dulu kami [pemerintah] menugaskan PIP [Pusat Investasi Pemerintah] karena ada fleksibilitas untuk stabilisasi pasar,” kata dia.

Menurut dia, seharusnya SAL dimanfaatkan untuk investsi atau mendanai proyek-proyek yang bisa menghasilkan keuntungan bagi kas negara. Salah, ketika kemudian SAL digunakan untuk mendanai gaji pegawai, menambah dana alokasi umum (DAU), atau membayar utang jatuh tempo.

“Memang dilematis SAL banyak dipakai untuk seperti itu, sama dengan cadangan devisa. SAL harus dimanfaatkan sesuai peruntukannya yang lebih produktif,” kata dia.

Secara umum, mantan Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal itu menilai postur APBNP 2011 dan RAPBN 2012 sudah cukup kredibel, tetapi belum cukup instrumen untuk menanggulangi risiko fiskal.

Risiko-risiko yang dianggap Anggito  membayangi perekonomian ansional, a.l. risiko perlambatan ekonomi global, risiko pasar obligasi dan saham, serta risiko pembengkakan beban subsidi energi dan pangan.

Menteri Keuangan Agus D. W. Martowardojo melihat kondisi perekonomian global masih belum pulih yang tercermin dari konstelasi ekonomi di sejumlah negara maju. Antara lain, persetujuan penaikan batas utang AS yang berhasil menjauhkan potensi gagal bayar, ternyata belum bisa mengatasi perlambatan ekonomi negara tersebut.

Sebaliknya, Italia dihadapkan pada ancaman gagal bayar utang, lalu Spanyol dibayangi tingkat pengangguran yang tinggi, serta memburuknya ekonomi Perancis akibat defisit besar.

“Kemungkinan yang akan terjadi di emerging market, Asia, terkena imbas akibat lemahnya permintaan ekspor [dari negara-negara tersebut],” ujar dia.

Kendati demikian, kata Agus, masih ada ruang bagi negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, untuk melakukan kebijakan stimulus fiskal. Pasalnya, arus modal tetap akan akan mengalir masuk ke kawasan Asia dan Tanah Air mengingat secara fundamental perekonomian cukup kuat.(mmh)

 

 

 

 

Powered By WizardRSS.com | Full Text RSS Feed | Amazon Plugin | Settlement Statement | WordPress Tutorials

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...