Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Lebay

Bisnis -> Broker dan Transisi Ekonomi

Recommended Posts

MUHAMMAD Nazaruddin. Nama ini dikenal publik tidak hanya karena tudingan korupsi pribadi berskala raksasa yang menimpa diri dan istrinya,Neneng Sri Wahyuni, atau karena drama pengejarannya sampai ke Cartagena, Kolombia, melainkan juga karena ia sempat membuka mulut tentang keterlibatan sejumlah politisi ternama dalam kegiatan suap dan penyelewengan dana publik.

 

Ada rasa ingin tahu yang tergugah lantaran Nazaruddin sempat memancing kemungkinan pengungkapan semua nama pihak-pihak yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi besar, bahkan anggota Partai Demokrat, yang notabene adalah partai berkuasa di negeri ini. Kedahsyatan kasus Nazaruddin terungkap dari pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas.

 

Busyro menyatakan Nazaruddin terlibat setidaknya 31 kasus dugaan korupsi dan hampir semua kasus tersebut merupakan proyek di berbagai kementerian yang dibiayai anggaran belanja negara.Nilai proyeknya diperkirakan mencapai lebih dari Rp6 triliun. Terlepas dari apa yang selanjutnya akan terjadi pada Nazaruddin ketika proses penyidikan dan peradilan berlangsung nanti, ada suatu keresahan yang menganga di masyarakat.

 

Dengan tertangkapnya Nazaruddin, dugaan adanya jaringan yang secara sistematis menggerogoti anggaran negara melalui jalur parlemen seakan bukan isapan jempol lagi. Keresahan akibat korupsi memang sedang meluas di sejumlah negara di belahan dunia.Ketika perekonomian digenjot untuk tumbuh lebih tinggi,di situ juga ternyata bibit korupsi tumbuh lebat.

 

Dana dana yang dikucurkan untuk pembangunan dengan mudah dikeruk untuk keuntungan pribadi dan kepentingan lain yang jauh dari tujuan semula. India dan Vietnam termasuk dua negara yang pesat pertumbuhan ekonominya yang juga sedang diresahkan oleh skandal-skandal korupsi.

 

Kembali kepada kasus Indonesia, saya teringat pada buku yang ditulis Timothy Frye berjudul Brokers and Bureaucrats (2003) yang diterbitkan oleh University of Michigan. Frye menyisir alasan mengapa di negara seperti Rusia terdapat peranan broker yang kental sekali dalam praktik ekonomi dan politik.

 

Pada 1992 ketika reformasi ekonomi pasar di Rusia macet,paket stabilisasi ekonomi tidak berjalan berbulan-bulan,tingkat inflasi mencapai 30-40 persen per bulan, dan privatisasi perusahaan negara baru saja dimulai,padahal hubungan presiden dan Parlemen memburuk, terjadilah perdagangan mata uang yang difasilitasi para broker.

Para broker itu mengumpulkan daya untuk membentuk The Moscow Exchange, semacam pasar saham yang dikelola oleh para broker skala kecil,dengan modal kurang dari USD30.000. Mereka saling berdagang satu sama lain untuk mencari hidup sambil menyingkirkan perusahaan yang bobrok.

 

Sementara itu, kelompok broker juga berperan dalam perdagangan komoditas di Rusia.Para broker menyeleksi calon pembeli dan penjual, mencarikan ”pasangan” yang cocok dan bila perdagangan terjadi, mereka mendapatkan komisi dari pembeli dan penjual.

 

Adalah suatu kewajaran di Rusia bahwa para broker ini juga ”menjual” perlindungan (termasuk perlindungan bersenjata) bagi yang membutuhkan, termasuk ketika terjadi sengketa.Intinya bahwa sistem pengelolaan ekonomi di Rusia menunjukkan betapa lemahnya peranan negara dalam memberi kepastian bagi para pelaku ekonomi.

 

Akibatnya, pihak-pihak yang berkepentingan memanfaatkan situasi saling membutuhkan ini untuk mengeruk keuntungan melalui peran sebagai broker. Yang menarik dari analisis Frye tadi adalah bahwa dalam suatu proses reformasi ekonomi, ada konsekuensi ketidakpastian, bahkan bagi pihak-pihak yang biasanya dengan mudah mendapatkan alokasi dana dari kekuasaan.

 

Mereka inilah yang kemudian bergerak mencari kepastian dengan caranya sendiri.Dalam dunia korupsi, yang terjadi adalah prinsip ”bagi-bagi”. Jika seseorang mengambil sekian rupiah dari aliran dana yang lewat di depannya, pihak yang melihat kejadian itu dan memfasilitasi hal itu untuk terjadi perlu mendapat porsi dari dana yang diambil tersebut.

 

Bila tidak, kecurangan itu akan dibuka sebagai skandal di mata publik. Dalam tahap transisi reformasi ekonomi, seperti yang juga dijalani Indonesia sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998, ketidakpastian hasil terasa mencekat leher. Sejumlah pengusaha berulang kali mengeluhkan tingginya biaya produksi di negeri ini.

 

Tingginya biaya ini sebenarnya bukan semata karena kebijakan yang belum mendukung efisiensi biaya, tetapi karena pengusaha membutuhkan broker-broker untuk memastikan bahwa proyek-proyeknya berhasil atau minimal tidak terlibas oleh proyek lain. Dalam masa transisi macam ini, lembaga-lembaga negara memang ada, tetapi sebatas nama.

 

Institusi yang ada belum bisa menjamin bahwa transaksi yang terjadi tidak akan dicurangi oleh pihak-pihak yang biasa mengambil untung. Di sinilah ironisnya peranan broker alias penghubung antara pihak satu dan lain. Mereka membantu proses transaksi, mendapatkan proyek, menimba laba, dan dibayar komisi karena peranannya itu.

 

Broker ini memang menghisap dana, bahkan dana publik sekalipun, tetapi seorang broker biasanya jarang melanggar kontrak dengan yang membayarinya. Reputasi seorang broker ditentukan dari kemampuannya memegang janji pada kliennya. Jadi di dunia yang serba tidak pasti, justru omongan seorang broker seharusnya paling bisa dipegang.

 

Dengan demikian, dalam kasus Nazaruddin, perhatian kita hendaknya tidak tersita pada drama pengungkapan pihak-pihak yang terlibat karena seorang broker seperti dia biasanya paham betul ”kontrak”- nya sebagai seorang broker. Jangan kita justru luput membentengi diri dari jejaring para broker yang terus berusaha menghisap dana dari tiap peluang yang mereka lihat dalam sistem yang masih serba tambal sulam di era transisi ini.

 

Mengingat bahwa risiko korupsi berskala besar macam ini cukup jamak terjadi di negara-negara yang dalam transisi ekonomi, justru kini Indonesia ditantang untuk sesegera mungkin membangun lembaga yang ditopang oleh mekanisme reputasi.

 

Diperlukan seleksi khusus untuk screening reputasi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan ekonomi dan masuk dalam tim anggaran di Parlemen.Diperlukan sirkulasi informasi yang lancar tentang pihak-pihak yang terlibat tersebut supaya tak lagi diperlukan broker untuk menjamin bahwa informasi yang beredar adalah benar adanya.

 

Diperlukan mekanisme insentif bagi anggota yang taat misalnya mereka boleh melakukan boycott pada yang melanggar norma bersama. Belajar dari pengalaman di negara lain, peran lembaga seperti KPK perlu segera ditopang oleh pembenahan lembaga tempat negosiasi dana-dana publik berlangsung.

 

DINNA WISNU

Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi

Universitas Paramadina

 

 

(Koran SI/Koran SI/wdi)

 

 

 

 

 

Powered By WizardRSS.com | Full Text RSS Feed | Amazon Plugin | Settlement Statement | WordPress Tutorials

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...