bot 0 Posted April 10 Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Prabowo Subianto[1] berencana membuka keran impor[2] selebar-lebarnya untuk berbagai komoditas. Ia bahkan menginstruksikan kuota impor dihapus dan tidak ada persetujuan teknis (pertek) yang selama ini menghambat gerak importir. "Saya minta, ada menteri pertanian, menteri perdagangan, gak usah ada kuota-kuota (impor) apalagi semua. Enggak ada kuota-kuota itu!" tegasnya dalam Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (8/4). ADVERTISEMENT SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT Menurutnya, kuota impor selama ini justru hanya menguntungkan perusahaan tertentu. "Enak saja (khusus kuota untuk beberapa perusahaan)! Sudahlah, kita sudah lama jadi orang Indonesia. Jangan pakai-pakai praktik itu lagi!" katanya. "Siapa mau impor daging, silakan! Siapa saja boleh impor. Mau impor apa? Silakan! Buka saja (keran impor). Rakyat kita pandai kok," sambung Prabowo. Lantas apa risiko jika Prabowo membuka keran impor selebar-lebarnya? Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan penghapusan kuota impor secara menyeluruh bukanlah kebijakan tanpa konsekuensi, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang masih berjuang membangun kemandirian industrinya. Jika diterapkan tanpa strategi pendukung yang matang, langkah ini justru berisiko menggulung sektor produksi dalam negeri, memperdalam ketergantungan terhadap barang asing, serta menggagalkan agenda besar seperti swasembada pangan. Syafruddin mengatakan penghapusan kuota impor secara tiba-tiba dan tanpa strategi pendukung yang matang akan membawa dampak serius bagi banyak kelompok, terutama petani, nelayan, pelaku UMKM, dan pekerja sektor riil. "Industri kecil dan menengah yang belum siap bersaing akan terpukul, petani kehilangan pasar, dan lapangan kerja terancam hilang. Lebih dari itu, pembukaan impor tanpa kendali dapat memperlebar defisit transaksi berjalan dan melemahkan nilai tukar, sekaligus menciptakan keresahan sosial akibat naiknya angka pengangguran," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (9/4). Di sisi lain, konsumen kelas menengah ke bawah mungkin akan menikmati harga murah dalam jangka pendek dengan dibukanya keran impor selebar-lebarnya. Namun akan menjadi malapetaka ketika harga impor melonjak akibat krisis global, tetap produksi lokal sudah terlanjur mati. Oleh karena itu, ia mengingatkan pemerintah untuk tidak menghapus kuota impor secara gegabah. Dalam merancang kebijakan perdagangan, sambungnya, pemerintah harus mampu membedakan mana produk yang layak dibuka impornya secara bebas dan mana yang perlu dilindungi secara ketat demi kepentingan nasional. Menurutnya, produk-produk konsumsi non-strategis, teknologi tinggi yang belum tersedia di dalam negeri, serta bahan baku untuk industri ekspor dapat diimpor lebih leluasa karena mendukung efisiensi dan daya saing. Namun, untuk komoditas pangan strategis seperti beras, kedelai, dan gula, serta produk UMKM dan industri padat karya yang menopang jutaan lapangan kerja, negara harus hadir melalui proteksi yang terukur. "Kebijakan impor harus dirancang bukan atas dasar tekanan dagang atau logika harga murah semata, tetapi atas dasar strategi pembangunan jangka panjang yang berkeadilan dan berpihak pada rakyat," katanya. Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan langkah penghapusan kuota impor justru berisiko besar mempercepat kerusakan ekonomi nasional jika tidak dikawal dengan regulasi yang super ketat. Menurutnya, jika tidak dikontrol maka sama saja mengundang banjir produk asing di tengah pasar domestik yang rapuh. "Kita harus jujur, beberapa tahun terakhir saja, kita sudah dihantam habis-habisan oleh krisis overcapacity dan pelambatan ekonomi China. Produk-produk murah, bahkan yang ilegal, masuk ke pasar kita dengan sangat mudah. Kalau sekarang kita malah lepas rem, gelombang barang murah ini bisa jadi tsunami bagi industri lokal," tegas Andry. Andry mengatakan jika keran impor dibuka bebas, maka yang paling terpukul adalah industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik ringan yang saat ini sedang menghadapi gelombang PHK besar-besaran. Imbasnya, PHK massal bisa makin tidak terhindarkan. Jika PHK yang sudah besar makin meluas, ujungnya daya beli masyarakat ikut runtuh karena masyarakat kehilangan pendapatan. Tanpa daya beli, konsumsi rumah tangga sebagai tulang punggung perekonomian nasional akan ikut melemah. Tak hanya itu, keran impor yang bebas juga turut berdampak buruk pada iklim investasi. [Gambas:Photo CNN][3] "Kalau pasar domestik dibanjiri impor murah, logika investor sederhana: buat apa bangun pabrik di sini? Lebih murah ekspor dari negara mereka sendiri atau dari kawasan lain yang lebih kompetitif," jelas Andry. "Akibatnya ekonomi kita masuk ke lingkaran setan. Industri jatuh, konsumsi lesu, investor kabur, ekspor lemah, impor merajalela. Ini jelas krisis struktural," lanjutnya. Ia mengatakan keran impor bisa dibuka lebih fleksibel terhadap barang-barang yang memang diperlukan supaya roda produksi dalam negeri tetap berputar, terutama bahan baku dan barang modal yang belum bisa diproduksi di dalam negeri secara memadai. Misalnya, mesin-mesin untuk manufaktur, atau komponen elektronik yang memang masih bergantung pada impor. Kemudian juga kebutuhan energi seperti LPG atau bahan baku petrokimia. Namun, yang harus betul-betul dijaga adalah barang jadi yang bersaing langsung dengan produksi dalam negeri, terutama yang menyerap banyak tenaga kerja. Contohnya tekstil dan produk turunannya, alas kaki, dan peralatan elektronik ringan. Kemudian juga produk pangan konsumsi seperti gula, garam, atau daging sapi. "Kalau itu dibuka bebas, kita akan sangat rentan. Apalagi di tengah kondisi global sekarang, barang-barang murah dari luar itu sedang cari pasar, dan Indonesia bisa jadi target besar," katanya. ====[4] Tsunami Barang Murah Hantam Industri Lokal --[5] References^ Prabowo Subianto (www.cnnindonesia.com)^ impor (www.cnnindonesia.com)^ [Gambas:Photo CNN] (cnnindonesia.com)^ ==== (www.cnnindonesia.com)^ -- (www.cnnindonesia.com)Sumber Share this post Link to post Share on other sites