bot 0 Posted 6 jam yg lalu. Foto: Seorang pedagang ikan asin menyiapkan dagangan dengan menyediakan sistem pembayaran Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) di Kawasan Pasar Tradisionan Pasar Minggu, Jakarta, Kamis, (11/5). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki) Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi ekonomi sedang tidak baik-baik saja dan makin menggerus kelas menengah di Indonesia. Salah satu buktinya terlihat dari transaksi QRIS yang menurun di beberapa bank. Fenomena ini kian memberikan sinyal kelas menengah yang turun 'kasta' ke kelas menengah rentan dan rentan miskin. Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), kelas menengah di Indonesia pada 2019 sebanyak 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Jumlah itu menurun drastis pada 2024, yakni tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%. Artinya, sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah turun kelas. Bersamaan dengan itu, kelompok masyarakat kelas menengah rentan (aspiring middle class) naik. Pada 2019 sebanyak 128,85 juta atau 48,20% dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22% dari total penduduk di 2024. Demikian juga dengan angka kelompok masyarakat rentan miskin yang ikut membengkak dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56%, menjadi 67,69 juta orang atau 24,23% dari total penduduk pada 2024. Transaksi QRIS Anjlok Bank Jatim (BJTM) mencatat fenomena berkurangnya kelas menengah di Indonesia tercermin dari transaksi QRIS sejak Juni hingga Agustus 2024 yang tercatat anjlok. Direktur Utama Bank Jatim Busrul Iman memaparkan nominal transaksi di QRIS Merchant mencapai Rp176,30 miliar pada Juni 2024. Jumlah itu kemudian turun menjadi Rp127,91 miliar pada Juli, dan hanya naik tipis Rp130,51 miliar pada Agustus. "Dari data yang ada menunjukkan transaksi QRIS mulai bulan Juni sampai dengan Agustus 2024 memang mengalami penurunan yang cukup tajam, namun bila ditarik 8 bulan terakhir tetap mengalami peningkatan," ujar Busrul saat dihubungi CNBC Indonesia, beberapa saat lalu. Nominal QRIS Merchant Bank Jatim bulan Agustus memang bertumbuh jika dibandingkan dengan nominal Januari, yang sebesar Rp76,11 miliar. Namun, tren penurunan transaksi QRIS ini terjadi mulai bulan Juni hingga Agustus, berbarengan dengan deflasi inti yang terjadi selama empat bulan beruntun sejak Mei. Meskipun demikian, Busrul menyampaikan bahwa transaksi melalui tabungan digital Bank Jatim, J Connect mobile dan kartu debit relatif masih tumbuh positif. Sementara itu, Bank Oke Indonesia (DNAR) atau OK Bank Indonesia mengalami penurunan pada tabungan yang terhimpun. Direktur Kepatuhan OK Bank Efdinal Alamsyah menyampaikan bahwa tabungan yang terhimpun turun sekitar 12% secara tahunan atau year on year (yoy) per 4 September 2024. Menurut Efdinal, menurunnya daya beli membuat nasabah mengalihkan pengeluaran mereka ke kebutuhan dasar atau barang yang lebih esensial. "Ini bisa tercermin dari perubahan pola transaksi, misal penurunan pada transaksi di kategori seperti hiburan atau restoran, sementara ada peningkatan dalam kategori seperti bahan makanan atau kebutuhan rumah tangga," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia. Sementara BJB (BJBR), mengatakan dampak dari tren penurunan konsumsi kelas menengah membuat nilai transaksi nasabah menurun. Direktur Utama BJB Yuddy Renaldi mengatakan frekuensi transaksi di BPD pentolan itu masih bertumbuh, tetapi nilainya telah menurun. "Mengenai tren konsumsi pada kelas menengah ini melalui transaksi channel elektronik khususnya secara tren kami melihat dari sisi frekuensi masih bertumbuh, namun yang menjadi perhatian adalah value yang diperoleh atas nilai uang yang ditransaksikan," kata Yuddy saat dihubungi CNBC Indonesia. Misalkan, katanya, nasabah dalam kesehariannya menghabiskan Rp100 ribu rupiah untuk membeli 10 barang, kini yang dihabiskan dengan nominal yang sama, hanya untuk 8-9 barang saja. "Artinya bukan dari jumlah nilai uang yang dihabiskan, tetapi dari daya beli uang tersebut, inflasi dan daya beli telah menekan daya beli," jelas Yuddy. Bank swasta terbesar RI, BCA (BBCA) juga tak terelakkan dari penurunan kelas menengah. Meskipun Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan bahwa tren tersebut tidak berpengaruh pada transaksi QRIS atau debit, ia mengakui bahwa kredit ritel terdampak. "So far kredit ritel yang lebih berat," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia. Meskipun begitu, Jahja mengatakan kredit konsumsi seperti kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) di BCA tetap bertumbuh karena bunga yang murah. "Naik, KPR dan KKB bagus karena bunga murah," katanya. (fab/fab) Saksikan video di bawah ini: Video: Raksasa Global Hengkang, Benarkah Pasar Modal RI Tak Menarik? Sumber Share this post Link to post Share on other sites