Jump to content
FJB - Forum Jual Beli Indonesia

Archived

This topic is now archived and is closed to further replies.

Lebay

Bisnis -> Branding Rendang

Recommended Posts

Bulan September ini rendang telah dinobatkan oleh CNNGo sebagai makanan terlezat sejagat. Kita sebangsa terhenyak: “Slompret!!! Boleh juga kuliner kita ya. ”Hebat,rendang bisa mengalahkan sushi dari Jepang, pizza dari Italia, tom yum goong dari Thailand, dim sum dari Hong Kong, croissant dari Prancis. “Proud to be an Indonesian!” Harus diakui, kita memang bangsa yang piawai membikin (bikin rendang, batik, reog, angklung).

 

Tetapi celaka, kita tak pandai memasarkannya. Lebih celaka lagi,kita juga ceroboh menjaga bikinan nenek moyang. Itu sebabnya, batik, reog, angklung, tari pendet,lagu Rasa Sayange begitu gampangnya dicolong negeri tetangga. Begitu pun kasus rendang ini. Kita bersukaria karena kuliner Tanah Minang ini dinobatkan menjadi juara dunia kuliner.

 

Namun, justru perusahaan negeri tetangga yang mem-branding dan memasarkannya hingga ke Eropa, Karena itu penobatan rendang sebagai kuliner terdahsyat sejagat harus dijadikan momentum untuk membuktikan bahwa kita adalah juga “bangsa marketer”. Lebih baik energi bangsa ini dihabiskan untuk memasarkan dan mengampanyekan rendang ke dunia, ketimbang untuk mengusili kasus Nazarudin, menggosipkan Malinda Dee, atau mementaskan sandiwara korupsi Kemenakertrans yang begitu menguras tenaga.

 

“Lupakan Nazarudin, fokus ke kampanye rendang!!!” Tulisan ini adalah catatan kecil saya mengenai bagaimana kita harus membranding-kan rendang dan kuliner Nusantara kita yang luar biasa potensinya. Semoga catatan kecil ini menginspirasi anak negeri.

 

Beberapa waktu lalu muncul komentar bahwa kita tak perlu takut dengan klaim negeri tetangga terhadap rendang, karena rendang negeri tetangga tak seenak rendang Minang. Ya, karena rendang terenak di dunia ada di Padang Panjang atau Payakumbuh. 1000 persen setuju! Tapi, masalahnya, marketing is about perception. Dan marketer hebat bisa membentuk perception itu. Itulah yang secara cerdas dilakukan oleh negeri tetangga.

 

Karena itu, kita harus berani membrandingrendang dengan “rendang Padang” atau “rendang Minang” atau bisa juga “rendang Payakumbuh” agar audien global bisa membedakan mana yang asli dari Minang dan mana yang dari negeri tetangga. Coca Cola pernah membuat kampanye “It’s the real thing” untuk menancapkan keaslian (authenticity) produknya di benak konsumen. Rendang harus banyak belajar dari Coca Cola.

 

Dulu-dulu, barangkali kita tidak pernah peduli dengan resep asli rendang. Namun kini, ketika banyak negeri tetangga mulai mengincarnya untuk diklaim menjadi milik mereka, kita harus mulai sungguh-sungguh menggali resep orisinal rendang dari berbagai daerah di tanah Minangkabau. Resep orisinal itu merupakan kekayaan luar biasa bangsa ini, tak beda dengan hamparan hutan di Kalimantan atau berton-ton tambang emas di bumi Papua.

 

Karena itu, pakar sejarah dan kuliner haruslah mampu menggali resep orisinal ini, kalau perlu dipatenkan menjadi milik bangsa ini. Di dalam dunia pemasaran dikenal istilah diferensiasi yang merupakan penentu keunggulan sebuah produk.

 

Di dunia pemasaran juga disepakati bahwa esensi diferensiasi adalah autentisitas: “Authenticity is the essence of differentiation”. Resep orisinal rendang adalah penentu keunikan produk yang harus dilestarikan dan dikampanyekan ke target audien di seluruh dunia.

 

Saya baru tahu bahwa rendang ternyata memiliki filosofi yang indah dan adiluhung. Rendang memiliki empat bahan pokok yaitu dagiang (daging) yang melambangkan ninikmamak (pemimpin); karambia (kelapa) yang melambangkan cadiak pandai (kaum intelektual); lado (cabe) yang melambangkan alim ulama; dan pemasak (bumbu) yang melambangkan masyarakat.

 

Itu semua menjadi brand story yang bisa menambah emotional benefit dari rendang. Dengan mempromosikan tak hanya rasa dan autentisitas resepnya, tapi juga cerita-cerita di baliknya menjadikan rendang lebih eksotis penuh daya magis. Batik adalah contoh kampanye branding yang sukses. Begitu ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia, sekonyong-konyong nasionalisme, keb anggaan, dan ownership kita pada batik jadi terusik. Dengan energi dan spirit luar biasa ini serta-merta segenap elemen masyarakat kita (mulai dari anggota DPR, pegawai kantoran, hingga guru SD Inpres) secara sukarela melakukan gerakan memakai batik dengan cara mereka sendiri-sendiri.

 

Puncaknya adalah ketika pemerintah menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional dan hari Jumat sebagai hari memakai batik.Ini semua menghasilkan sebuah gerakan nasional yang natural, spontan,dan efektif. Seharusnya gerakan nasional cinta batik ini juga bisa terjadi di rendang. Rendang seharusnya tak hanya milik Sumatera Barat tapi sudah menjadi milik Indonesia.

 

Karena menjadi milik kita semua, maka dengan cara kita masing-masing kita mempromosikannya, tak hanya di Tanah Air tapi juga ke dunia. Dengan begitu, rendang bisa menjadi “pemersatu” bangsa dari Sabang hingga Merauke. Salut buat Pak William Wongso yang susah payah selama ini menjadi “Duta Besar Rendang” memasarkan rendang ke luar negeri.

 

Saat ini kita menghadapi serangan kuliner global yang kian lama kian masif. Coba Anda amati perkembangan McDonald’s selama 20 tahun keberadaannya di negeri ini. Dulu awalnya McD hanya untuk kalangan atas. Namun, kini kita melihat McD semakin merakyat dengan harga yang kian terjangkau. Dulu kita datang ke McD hanya sekali sebulan atau sekali seminggu di akhir pekan.

 

Namun, kini McD mulai melakukan kampanye, mulai dari sarapan, makan siang, makan malam, dan begadang sampai pagi maunya di McD.Itu semua terjadi karena kekuatan branding. Terus terang saya resah jika suatu saat McD bisa menjadi semacam warteg, saking merakyatnya. Di tengah serangan kuliner global yang kian melokal, maka kita harus mampu mengimbanginya dengan mem-branding-kan kekayaan kuliner kita yang luar biasa ke ranah global.

 

Rendang, nasi goreng Kebon Sirih, sate, gudeg Yogya, soto Kudus, pecel Madiun,rujak cingur Suroboyo,Thiwul Gunung Kidul, dawet, teh poci, atau wedang ronde harusnya bisa menjadi global brand. Apakah saya sedang bermimpi? Barangkali. Tapi ingat, karya besar sering kali berawal dari secuil mimpi! Hidup kuliner lokal! Hidup brand lokal! Hidup Indonesia!  (Yuswohady, Pengamat Bisnis dan Pemasaran. Blog: http://www.yuswohady.com Twitter: @yuswohady/Koran SI/nia)

(//rhs)

 

 

 

 

 

Powered By WizardRSS.com | Full Text RSS Feed | Amazon Plugin | Settlement Statement | WordPress Tutorials

 

Sumber

Share this post


Link to post
Share on other sites

×
×
  • Create New...